Beranda | Artikel
Kaidah Ke-49 : Hukum Asal Suatu Ibadah Tidaklah Ada Kecuali Jika Ada Dalilnya
Jumat, 4 Maret 2016

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Puluh Sembilan

اْلأَصْلُ فِي شُـرُوْطِ الْعِبَـادَاتِ الْمَنْـعُ وَالْحَظْـرُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

Hukum asal syarat sah suatu ibadah tidaklah ada kecuali jika ada dalilnya

MUQADIMAH
Sesungguhnya kita diperintahkan untuk beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan mengerjakan ibadah-ibadah wajib maupun sunnah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menunjukkan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Berkaitan dengan rincian ibadah, Allâh Azza wa Jalla tidak memberikan kesempatan bagi akal manusia untuk menentukan dan menetapkannya. Karena akal tidak bisa berdiri sendiri untuk mengetahui mana ibadah yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

Yang berhak menetapkan syarat-syarat sah suatu ibadah adalah Allâh Azza wa Jalla semata, baik melalui al-Qur’ân maupun melalui lisan nabi-Nya. Maka seseorang tidak berhak mengaitkan keabsahan suatu ibadah dengan sesuatu hal kecuali jika ada dalil yang menjadi landasannya. Karena penentuan syarat suatu ibadah merupakan wewenang Allâh Azza wa Jalla yang telah mensyariatkan ibadah itu. Barangsiapa menentukan syarat sah suatu ibadah berdasarkan akal semata maka hakikatnya ia telah menjadikan dirinya sebagai pembuat syariat bersama Allâh Azza wa Jalla .

Di samping itu, perlu dipahami juga bahwa tidak diperbolehkan mengaitkan suatu ibadah dengan suatu syarat yang didasarkan pada dalil lemah. Karena dalil yang lemah tidak dapat dijadikan pijakan dalam permasalahan ahkam (hukum-hukum syar’i).

MAKNA KAIDAH
Sebagaimana telah diisyaratkan dalam uraian di atas, bahwa kaidah ini menjelaskan tentang hukum asal penetapan syarat sah suatu ibadah. Di mana, keberadaan sesuatu bisa ditetapkan menjadi syarat sah suatu ibadah jika didasari dalil yang menjelaskannya.

Maka sebagaimana hukum asal suatu ibadah itu adalah terlarang, maka demikian pula syarat-syarat ibadah dan tata caranya, hukum asalnya juga terlarang, dan tidak boleh ditetapkan kecuali jika ada dalil shahih dan sharih (tegas) yang menunjukkannya.

DALIL KAIDAH INI
Kaidah ini masuk dalam keumuman larangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya dari mengada-adakan perkara baru dalam agama. Juga masuk dalam keumuman kaidah bahwa hukum asal suatu ibadah adalah dilarang kecuali jika ada dalil yang menunjukkannya. Di antara dalil yang menjelaskannya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ? [as-Syûrâ/42:21]

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Maka hukum asalnya adalah dilarang bagi setiap orang untuk menetapkan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada tuntunannya dari Allâh Azza wa Jalla dan tidak pula dari rasul-Nya.”[1]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami maka ia tertolak.[2]

Imam Ibnu Rajab al-Hambali ketika menjelaskan ayat ini mengatakan, “Teks hadits ini menjelaskan bahwa setiap amalan yang tidak ada tuntunannya di dalam syariat, maka amalan itu tertolak. Dan secara tersirat menjelaskan bahwa setiap amalan yang dilandasi tuntunan dalam syariat, maka amalan itu tidaklah ditolak.”[3]

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara contoh penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagian Ulama’ mensyaratkan kehadiran minimal empat puluh orang untuk keabsahan shalat Jum’at. Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.[4] Namun, jika kita cermati, ternyata tidak ada dalil yang mendasarinya kecuali dalil yang lemah. Di antaranya adalah hadits Jâbir bin ‘Abdlullâh Radhiyallahu anhu :

مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِيْ كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمْعَةٌ

Telah berlalu sunnah bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan shalat Jum’at.”[5]

Hadits tersebut adalah hadits yang sangat lemah.

Demikian pula, sebagian Ulama ada mensyaratkan kehadiran sejumlah dua belas orang untuk keabsahan shalat Jum’at, sebagaimana dipegang oleh madzhab Mâliki. Pendapat ini meskipun didasari oleh dalil yang shahîh namun tidak secara tegas menunjukkan tentang penetapannya sebagai syarat.[6]

Oleh karena tidak ada dalil yang mensyaratkan jumlah tertentu untuk keabsahan shalat jum’at, maka sebagian Ulama’ memandang sahnya shalat jum’at yang dihadiri oleh dua orang saja, karena dua orang sudah terhitung jama’ah. Sebagian Ulama lainnya berpendapat sahnya shalat Jum’at dengan dihadiri tiga orang, di mana satu orang berkhutbah dan dua orang lainnya mendengarkan khutbah. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t , dan ini adalah pendapat yang kuat karena menurut pendapat yang shahih di kalangan ahli ushul fiqh bahwa jumlah jama’ paling sedikit adalah tiga.[7]

2. Sebagian Ulama mensyaratkan tujuh basuhan dalam membersihkan najis. Ini adalah sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah[8] . Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

اِغْسِلُوْا اْلأَنْجَاسَ سَبْعًا

Cucilah najis sebanyak tujuh kali

Akan tetapi hadits tersebut tidak memiliki sanad yang shahih, bahkan sekedar disebutkan dalam kitab-kitab fiqih tanpa penyebutan sanadnya. Maka, dalam membersihkan najis tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam membasuhnya, kecuali najis jilatan anjing yang harus dibasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dengan tanah. Dikecualikan pula dalam istijmâr untuk membersihkan najis yang keluar dari dua jalan, yang harus diusap sebanyak tiga kali. Adapun selainnya maka tidak ada ketentuan jumlah tertentu dalam membasuhnya, karena hukum asal syarat sah suatu ibadah adalah tawaqquf (membutuhkan adanya dalil), dan jika tidak ada dalil secara khusus maka asalnya dalam menbersihkan najis adalah dengan disiram dengan air sampai benda najisnya itu hilang. Dan tidak terikat dengan jumlah tertentu dalam membasuhnya.[9]

3. Sebagian Ulama mempersyaratkan ucapan tahmîd, wasiat bertaqwa, shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan membaca ayat al-Qur’ân untuk keabsahan khutbah Jum’at. Ini adalah penetapan syarat sah suatu ibadah, di mana hukum asal dalam hal ini adalah tawaqquf. Dan jika kita perhatikan dalil-dalil yang menjelaskan tentang masalah ini, ternyata dalil-dalil tersebut tidaklah menunjukkan makna wajib, hanya menunjukkan kepada perkara yang sunnah. Maka penetapan syarat sah tersebut merupakan suatu hal yang kurang tepat.[10]

4. Sebagian fuqaha’ mensyaratkan terpenuhinya syarat-syarat sah shalat bagi orang yang ingin mengerjakan sujud tilâwah dan sujud syukur. Karena mereka berpendapat bahwa sujud tilâwah dan sujud syukur sama dengan shalat. Maka kita katakan bahwa hal itu merupakan penetapan syarat terhadap suatu ibadah, sehingga membutuhkan dalil yang menunjukkan hal itu. Apabila kita perhatikan dalil-dalil yang disebutkan dalam masalah ini, ternyata tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk menetapkan syarat tersebut. Bahkan disebutkan dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , di mana ia berkata :

كَانَ النَّبِيُّ يَقْرَأُ عَلَيْنَا السُّوْرَةَ فِيْهَا السَّجْدَةُ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُنَا مَوْضِعَ جَبْهَتِهِ

Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membacakan kepada kami satu surah yang di dalamnya terdapat ayat sajdah, maka beliau sujud dan kami pun ikut sujud, sampai-sampai salah seorang di antara kami tidak mendapatkan tempat untuk meletakkan keningnya[11]

Dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para shahabat untuk berwudhu terlebih dahulu, sedangkan dalam kaidah dikatakan bahwa tidak boleh menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pensyaratan yang disebutkan sebagian fuqaha’ tersebut tidaklah tepat.

Demikian pula sujud syukur. Tidak ada dalil yang menjelaskan wajibnya berwudhu, menutup aurat, atau pun menghadap kiblat untuk melaksanakan sujud syukur. Maka penetapan syarat tersebut untuk sujud syukur adalah pensyaratan yang tidak didasari oleh dalil, sedangkan hukum asal syarat tersebut adalah tidak ada. Oleh karena itu lah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa tidak disyaratkan terpenuhinya syarat-syarat sah shalat untuk keabsahan sujud tilawah dan sujud syukur. Karena sujud tersebut bukanlah sholat. Namun, tidak diragukan bahwa seorang yang melakukan sujud tilawah dan sujud syukur dengan memenuhi syarat-syarat sholat adalah lebih utama dikarenakan dua alasan, yaitu dalam rangka keluar dari perselisihan ulama, dan karena hal itu lebih sempurna dalam melaksanakan ibadah.[12]

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Taisîrul Karîmir Rahman fi Tafsîr Kalâmil Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1423 H/202 M, Muassasah ar-Risalah, Beirut, Hlm. 1064.
[2]. HR. al-Bukhâri, dalam Kitab as-Shulh, no. 2697 dan Muslim dalam Kitab al-Aqdhiyah, no. 1718.
[3]. Jâmi’ul ‘Ulûm wa al-Hikam fi Syarh Khamsîn Hadîtsan min Jawâmi’ al-Kalim, Imam Zainuddin Abu al-Farj Abdurrahman bin Syihabuddin, Cet. I, Tahun 1429 H/2008 M, Dar Ibn Katsir, Beirut, Hlm. 156.
[4]. Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan jumlah minimal jama’ah yang disyaratkan hadir untuk keabsahan shalat Jum’at. Di antara mereka ada yang berpendapat seorang saja bersama imam. Ini pendapat Imam at-Thabari rahimahullah . Ada pula yang berpendapat dua orang selain imam. Ada juga yang berpendapat tiga orang selain imam, ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah. Di antara mereka ada yang mensyaratkan kehadiran minimal 40 orang. Ini pendapat Imam as-Syâfi’i rahimahullah dan Imam Ahmad rahimahullah. Ada pula yang mensyaratkan jumlah minimal 30 orang. Ada pula yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, tetapi harus lebih dari empat orang. Ini adalah pendapat Imam Mâlik (Lihat Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, al-Imam al-Qadhi Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Tanpa Tahun, Dar al-Fikr, I/115)
[5]. HR. al-Baihaqi dalam al- Kubra 3/ 177. Hadits ini dha’if sebagaimana didha’ifkan oleh Syaikh al Albâni dalam Irwâ’ul Ghalîl no. 603.
[6]. Dalil yang dijadikan pegangan oleh para Ulama yang berpegang dengan pendapat ini di antaranya adalah HR. Muslim no. 863dari Jâbir bin ‘Abdullah Radhiyallahu anhu .
[7]. Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa jumlah minimal jama’ah yang hadir agar shalat Jum’at itu sah adalah tiga orang. Ini juga pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan juga madzhab Hanafi. (Lihat Mudzakkirah al-Fiqh, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1428 H/2007 M, Dar al-Ghad al-Jadid, Kairo, I/230).
[8]. Lihat perselisihan Ulama dalam masalah ini dalam Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, I/62
[9]. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, yaitu tidak disyaratkan jumlah basuhan tertentu dalam membersihkan najis mutawasshithah, dan yang dijadikan ukuran adalah hilangnya benda najis tersebut. (Lihat Mudzakkiratul Fiqh, I/95).
[10]. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan bahwa bacaan tahmîd, wasiat bertakwa, membaca ayat al-Qur’ân, dan shalawat kepada Nabi bukanlah syarat sah shalat Jum’at. Yang disyaratkan hanyalah khutbah itu berisi mau’izhah (nasehat). (Lihat Mudzakkiratul Fiqh, I/233).
[11]. HR. al-Bukhâri, dalam Kitab Sujûdil Qur’ân, no. 1075. Muslim dalam Kitab al-Masâjid wa Mawâdhi’us Shalah, no. 575.
[12]. Diangkat dari Talqîhul Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-30.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4312-kaidah-ke-49-hukum-asal-suatu-ibadah-tidaklah-ada-kecuali-jika-ada-dalilnya.html